Perbatasan Yang Kerap Menjadi Masalah

Perbatasan Indonesia
            Kita tahu Indonesia mempunyai banyak perbatasan, seperti perbatasan antara Malaysia-Indonesia, Brunei Darussalam-Indonesia, dll. Perbatasan juga banyak menimbulkan konflik, dari mulai pembagian perbatasan lahan, sengketa wilayah, susah dan mahalnya biaya pangan, sandang dan papan bagi Masyarakat yang tinggal didaerah perbatasan. Itulah yang kerap menjadi masalah-masalah dalam kasus perbatasan.  Salah satu contoh mengenai masalah perbatasan ialah tentang Malaysia yang suka mengklaim milik Indonesia, selain mengklaim lagu daerah “rasa sayange”, batik, dan reog ponorogo asli jawa timur baru ini dikabarkan 3 desa di Kalimantan diklaim oleh Malaysia. Ini yang perlu pemerintah benahi untuk masalah mengklaim hak cipta, mengklaim budaya dari Indonesia. Karena jika tidak diberikan tindakan maka kebudayaan dan cirri khas Indonesia akan menghilang satu persatu. Selain itu juga selat yang menjadi perdebatan antara pihak Indonesia dengan pihak Malaysia. Sangat jelas Indonesia sudah tidak bisa diam lagi untuk masalah kebudayaan ini. Bagaimanapun Masyarakat Indonesia harus melestarikan apa yang sudah menjadi kebudayaan dan cirri khas Indonesia.
            Kita semua tahu Jakarta adalah ibukota dari Indonesia. Tapi yang sangat saya sayangkan banyak Masyarakat-masyarakat di perbatasan yang tidak mengetahui Jakarta. Sebagai satu contoh anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia yang orangtuanya bekerja di sektor perkebunan tidak mengetahui Jakarta karena di Tawau, yang hanya berjarak 30 menit dari Pulau Sebatik, Nunukan, Kaltim, SD tempat mereka sekolah ternyata tidak memiliki peta Indonesia. Bahkan lebih parah lagi, anak-anak SD Indonesia ini dalam setiap upacara lebih dulu menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia, kemudian Negara Bagian Sabah, baru giliran menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ini yang benar-benar patut diperhatikan. Adalagi contoh lain seperti Ir. Hetifah Sj. Siswanda, MPP, PhD, anggota Komisi X Dapil Kalimantan Timur menceritakan hasil resesnya selama tiga hari ke perbatasan Kaltim-Malaysia. Beliau bercerita hampir meneteskan air mata, tatkala berbicara memakai bahasa Indonesia, mereka belum merespon secara baik, tetapi ketika dijelaskan memakai bahasa Melayu oleh guru asal Malaysia barulah mereka memahaminya. karena guru Malaysia lebih dominan memberikan pelajaran dibandingkan guru Indonesia yang diperbantukan. Lalu kemana guru-guru asal Indonesia ? Pada kenyataanya peran guru-guru PNS dari Indonesia yang diperbantukan tidak berjalan maksimal. Pada tahun 2006-2009 sebanyak 109 orang, 2009-2011 juga berjumlah 109 dengan pola kontrak 3 tahun. Sedangkan 2011-2014 ini malah belum ada. Berdasarkan pengakuan di lapangan, guru-guru kita kurang gigih memberikan pengajaran dan pengaruh kepada anak-anak Indonesia. Permasalahan dalam konteks ini tidak hanya sebatas hak pendidikan anak-anak TKI yang terabaikan. Tidak sebatas cerita pilu tentang Lagu Indonesia Raya yang dinomortigakan saat upacara. Tidak juga sebatas mahirnya mereka berbahasa Melayu dan terbengong-bengong saat ditanya dengan bahasa Indonesia. Atau cerita pilu para pejabat yang miris melihat dengan mata kepala sendiri anak-anak Indonesia di perbatasan.
            Kondisi seperti itu, sudah sangat menggambarkan jiwa anak-anak TKI di perbatasan yang bukan lagi Indonesia namun Malaysia. Perlunya pemahaman dan penguasaan bahasa Indonesia pada anak-anak itu. Kita semua tahu “bahasa Indonesia bahasa persatuan bangsa Indonesia”. Bahasa Indonesia menyatukan seluruh bangsa Indonesia yang beraneka ragam dalam kerangka Negara Kesatuan Indonesia. Menyatukan hati dan jiwa para anak negeri dalam satu nafas Indonesia. Kita tidak bisa menuntut agar anak-anak TKI di perbatasan Indonesia-Malaysia agar mencintai bahasa Indonesia, sedang mereka tidak mendapatkan hak pendidikan layaknya anak Indonesia lainnya. Kita tidak bisa menuntut mereka untuk mahir berbahasa Indonesia sedang tiap hari mereka disuapi bahasa Melayu oleh guru-guru Malaysia. Kita tidak bisa menuntut mereka mencintai Indonesia sedang Malaysia lebih memperhatikan mereka dan Indonesia sebatas mengunjungi bahkan mengabaikannya. Inilah sebenarnya Balada Siswa SD anak-anak TKI di Perbatasan Indonesia-Malaysia. Balada anak negeri di perbatasan Indonesia-Malaysia tidak pernah cukup diceritakan dalam artikel atau gambar film Tanah Surga, Katanya. Ini adalah kisah pilu yang melengkapi bergunung derita warga Indonesia yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia. Kita tentu tidak rela anak-anak bangsa lebih mencintai bahasa Melayu. Kita tentu tidak rela mereka justru lebih mengenal baik bendera Malaysia dan bendera Negara Bagian Sabah daripada bendera Indonesia.
            Masalah lain ialah antara Indonesia dengan Malaysia di daerah Nunukan, memang tidak ada pembatas yang menonjol. Hanya patok. Jadi jika di sana (Nunukan) ada acara, mereka bersama-sama satu rombongan, satu keluarga sama-sama. dan disana belum ada pembangunan di wilayah Nunukan yang berbatasan dengan Malaysia itu. Kita harus mendorong, pemerintah, bangun perbatasan menjadi halaman depan Republik ini. Jadi tidak ada ketimpangan antara pihak Malaysia dan Indonesia. Klaim bisa saja terjadi, tapi bisa dibicarakan bersama. Patoknya masih ada di sana. Tetap disepakati.
            Wilayah Perbatasan Butuh Sentuhan Otonomi Secara Nyata”. Dimana disebutkan bahwa daerah perbatasan di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia (negara bagian Serawak) masih mengalami ketimpangan pembangunan dibandingkan dengan negeri tetangga. Pembangunan infrastruktur dan pengembangan aktifitas ekonomi masih terengah-engah. Jalan paralel di sepanjang perbatasan belum lagi dibangun. Akibatnya terjadi perbedaan kesejahteraan dengan negeri tetangga. Ketimpangan ekonomi ini membuat banyak penduduk di daerah perbatasan mengadu nasib ke Serawak, Malaysia. Apalagi, begitu mudah bagi mereka untuk menyeberang ke dusun tetangga. Panjang perbatasan Kalimantan (Kalbar dan Kaltim/ Kaltara) dengan Malaysia (di Serawak dan Sabah) begitu panjang. Sementara hanya tersedia beberapa pintu perbatasan resmi saja dan ratusan pintu perbatasan tradisional yang tak dijaga.
Secara etnis, bahasa dan budaya penduduk perbatasan relatif sama dengan jirannya di Malaysia. Hanya fasilitas, infrastruktur dan tingkat kesejahteraan yang berbeda. Maka, mereka berdagang, berobat, sekolah dan mengadu nasib di Malaysia. Memang tidak terjadi eksodus besar-besaran ke Serawak Malaysia, namun jumlah yang menyeberang cukup signifikan. Fenomena mana turut menjadi perhatian insan film dengan lahirnya film “Tanah Surga Katanya’ pada Agustus 2012 yang diproduser-i oleh Deddy Mizwar dan berkisah tentang perbedaan tingkat kesejahteraan di Kalimantan dan Serawak-Malaysia. Barangkali masalah perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia tak mengemuka kalau saja belakangan tak terjadi sengketa pulau Sipadan dan Ligitan (yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui keputusan Mahkamah Internasional dan blok laut Ambalat di Laut Sulawesi. Sangat penting untuk menggesakan pembangunan di sepanjang perbatasan darat maupun di pulau-pulau terluar Indonesia.
Penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan mengalami permasalahan kehidupan yang kompleks. Disamping secara fisik mereka mereka tinggal amat jauh dan terpencil dari Ibukota negara di Jakarta, tidak jarang mereka-pun tinggal jauh dan terisolir dari ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dan ibukota propinsi mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berjarak amat dekat dengan negara tetangga. Bahkan, memiliki bahasa, budaya dan ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan penduduk di negeri tetangga. Namun kesamaan ciri-ciri fisik ini tidak menjamin ada kesamaan tingkat kesejahteraan dan strata ekonomi antara warga dua negara yang berbatasan. Tidak sedikit WNI di perbatasan hidup serba kekurangan dengan akses terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi yang sulit dan terbatas jumlanya. Sebagai contoh, Desa Suruh Tembawang di Kabupaten Sanggau amat terisolir dan sulit dijangkau dari kota kecamatan Entikong. Hanya bisa didatangi lewat sungai dengan lama perjalanan 6 jam dan sewa perahu yang mahal (Rp 1.5 juta sekali jalan). Kemudian, di daerah perbatasan hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods) berasal dari Malaysia, masyarakat juga terbiasa menggunakan dan berjual beli produk asal Malaysia termasuk gula pasir sampai dengan gas elpiji. Hadir pula ketimpangan dalam pola perniagaan dan jual beli antara Serawak dan Entikong. Warga Indonesia di perbatasan bisa masuk dan belanja ke Tebedu tanpa passport dengan menggunakan mata uang Rupiah maupun Ringgit Malaysia, sementara warga Malaysia hanya bisa masuk sejauh 200 meter ke Entikong dan tak bias berbelanja pula. Masalah lain adalah terbatasnya pasar di perbatasan untuk masyarakat di perbatasan, belum cukupnya infrastruktur dan sarana transportasi, permukiman dan jaringan irigasi yang memadai untuk masyarakat di perbatasan.
Saya sangat berharap agar Pemerintah Indonesia dapat memperhatikan perbatasan terkhusus Masyarakat-masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan. Dicukupkan fasilitas dan transportasi juga mengirimkan sejumlah personil untuk menjaga wilayah perbatasan.



Komentar

Postingan Populer