Pengabdian Yang Tak Ternilai
Pengabdian Yang Tak Ternilai
Pada
penulisan kali ini saya akan membahas mengenai pengabdian seorang pahlawan
tanpa tanda jasa yang tak ternilai di
pedalaman. Kita semua tahu bahwa bukan hanya pendidikan di pedalaman saja yang
menurut saya tidak adil atau dengan kata lain dipandang sebelah mata tetapi
para pengajar juga kerap tidak diperhatikan oleh pemerintah. Entah mengapa
terkadang saya merasa miris hati melihat berita-berita muncul yang mengangkat
topic mengenai para pengajar di pedalaman yang kurang diperhatikan. Pengabdian
seorang ahlawan tanpa tanda jasa. Sempat menjadi headline di beberapa media
mengenai topic ini akan tetapi hal ini masih belum menarik simpati para
petinggi di Negara ini. Disini saya akan membahas “Mengapa seorang pahlawan
tanpa tanda jasa yang telah mengabdi masih belum diperhatikan?”
Hal pertama yang akan saya bahas
adalah mengenai ketidaklayakan bangunan dan fasilitas itu sendiri di
sekolah-sekolah perkampungan kecil atau pedalaman. Jika kita melihat dan
membandingkan dengan bangunan serta fasilitas-fasilitas yang ada di sekolah
perkotaan sangatlah jauh berbeda. Mulai dari seragam yang dikenakan perkotaan
dan pakaian “ala kadarnya” di pedalaman. Bangunan sekolah yang tingkat dengan
bangunan yang terbuat dari bambu. Papan bertuliskan spidol dengan papan
bertuliskan kapur. Fasilitas perpustakaan dengan
buku-buku yang lengkap dan buku-buku yang lagi-lagi “ala kadarnya”. Belum lagi
fasilitas-fasilitas lain yang mendukung dan lebih canggih di sekolah perkotaan.
Sudah terlalu jauh perbandingannya. Sampai kapan akan terus begini? Bukankah
anak-anak tersebut adalah generasi penerus bangsa Indonesia berikutnya? Mengapa
berbeda? Lantas, hanya karena tempat dimana mereka menetap lalu bisa begitu
berbeda? Ini benar-benar tidak adil untuk mereka, untuk mereka yang mungkin
secara finansial “kurang cukup”.
Pembahasan kedua saya akan membahas
mengenai pendidikan yang menurut saya masih jauh berbeda juga dan mungkin sudah
jauh tertinggal dengan anak-anak sekolah yang mengenyam pelajaran di sekolah
perkotaan. Bukankah Pemerintah sudah menetapkan wajib belajar 9 tahun ?lantas
mengapa pendidikan dipedalaman masih kurang diperhatikan?
Dan pembahasan inti yang akan saya
bahas adalah mengenai sosok-sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang bersedia
dengan penuh hati mengajarkan anak-anak di pedalaman mengemban ilmu. Beberapa
waktu lalu saya sempat membaca beberapa topic ini di media mengenai berbagai
kisah guru-guru dipedalaman yang menurut saya benar-benar berjiwa mulia.
Kisah
yang pertama mengenai “Guru Honorer di pedalaman NTT hanya bergaji Rp.100.000
per bulan” benar-benar mengiris hati saya juga memberikan pelajaran bahwa
segala sesuatu tidak bisa dilihat hanya dengan uang, melainkan dengan seberapa
tulus kita membuat anak-anak tersebut pintar dan berguna untuk Negeri ini. Yang
saya salut dari para guru-guru honorer di pedalaman ini yang mungkin gajinya
hanya setara dengan beras beberapa liter ini adalah tekad dan semangat yang tak
pernah padam untuk para anak-anak yang memang kebanyakan berasal dari keluarga
tidak mampu. Seharusnya Pemerintah juga turut andil dalam kasus ini. Memang
masalah gaji menurut saya juga penting untuk dibahas karena apa adil jika
guru-guru yang telah mengabdikan dirinya didaerah terpencil hanya untuk
mengajarkan dan memberi semangat untuk terus mengenyam pendidikan tetapi hanya
bergaji Rp.100.000 di kehidupan modern seperti ini yang kita ketahui bahkan
semua sandang pangan sudah terlalu sulit dijangkau jika penghasilan mereka
hanya Rp.100.000. Mungkin bukan hanya masalah gaji tapi masalah pendidikan yang
seperti saya sudah bahas masih terlalu jauh ketinggalan dibandingkan
sekolah-sekolah diperkotaan. Banyak sekali di Negeri ini bangunan-bangunan yang
sudah tidak layak.
Jujur, saya benar-benar salut dan
memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pahlawan tanpa tanda jasa
ini yang memilih mengabdikan dirinya didaerah terpencil atau biasa kita sebut
pedalaman.
Kisah
kedua yang membuat hati saya miris juga ialah “Kisah Guru Yogya tuntaskan Buta
Huruf di Desa Terpencil Papua” Pemuda yang kerap dipanggil saraban telah
mengabdikan dirinya di sebuah desa terpencil di papua untuk menuntaskan buta
huruf. Lagi-lagi pria tersebut terkejut karena melihat bangunan-bangunan yang
ala kadarnya dan mungkin sudah tidak layak digunakan. Memang benar jika daerah tertinggal pasti selalu disepelekan.
Benar-benar miris dan sungguh tidak adil.
Kisah
ketiga adalah perjuangan seorang guru yang rela berkorban jauh untuk
mengajarkan dan memberi kecerdasan kepada anak-anak yang membutuhkan. Apalagi
jika sudah harus melewati berkilo-kilo meter hanya untuk mengabdi. Tak heran
juga jika kita melihat banyak pengabdi di pedalaman yang memang harus butuh
perjuangan yang besar seperti harus melewati sungai, jalan bebatuan yang memang
dengan jarak jauh. Dan masih banyak lagi perjuangan lainnya. Tetapi benar-benar
ironis jika semua perjuangan tersebut tidak mendapatkan perhatian dan apresiasi
yang lebih dari Pemerintah. Akankah hal ini sangat disayangkan? Mereka
mengorbankan sebagian hidupnya untuk mengabdi apalagi dengan jarak tempuh yang
benar-benar jauh. Jika kita bedakan dengan pengabdi di perkotaan dengan di
pedesaan benar-benar sangat berbeda. Dengan fasilitas, gaji, tunjangan yang
diberikan memang benar-benar jauh berbeda. Sarana dan fasilitas juga kerap
menjadi hambatnya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Apalagi jika hujan
datang mengguyur daerah sekolah terpencil tersebut yang mungkin hanya dibangun
dengan bambu-bambu atau daun daun pepohonan yang telah kering. Bisa dibayangkan
bagaimana bangunan tersebut terguyur hujan?
Ini
juga menjadi masalah ekonomi bagi para pengajar yang mengabdikan di daerah
terpencil. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari jika
apa yang telah mereka lakukan tidak sebanding dengan apa yang mereka peroleh? Lantas
kemana hukum di Negara ini? Benar-benar miris seolah tidak ada apresiasi atau
bentuk penghargaan dari pemerintah kepada pahlawan tanpa tanda jasa ini yang
telah membantu mencerdaskan bangsa-bangsa Indonesia di daerah terpencil, yang
telah membantu menuntaskan buta huruf di
Negeri ini, yang telah mempunyai mimpi untuk membangun generas-generasi yang
cerdas seperti apa yang tertera di Pembukaan UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa”lalu, mengapa mereka seolah dipandang
sebelah mata? Benar-benar jauh berbeda jika dibandingkan dengan perkotaan.
“Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa” mungkin panggilan atau sebutan tersebut memang pantas dan
layak di berikan kepada para pengabdi atau guru-guru yang mengajar di pedalaman
dengan gaji yang memang sangat tidak cukup dan menurut saya juga tidak pantas
diberikan kepada mereka yang telah memberikan jasa-jasa yang sangat besar untuk
generasi penerus bangsa ini. Mereka tentu mempunyai keluarga yang memang
membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan sekunder
lainnya. Saya tidak tau jika orang-orang seperti mereka sudah tidak ada atau
lelah karena terus tidak diperhatikan oleh Pemerintah Negeri ini akan
bagaimana? Penerus bangsa ini akan bagaimana? Buta huruf merajalela terkhusus
bagi mereka yang mungkin kehidupan ekonominya sangat jauh dibawah atau “kurang
mampu”. Dan banyak sekali masalah-masalah yang akan timbul jika pahlawan tanpa
tanda jasa ini tidak ada lagi dan mencoba untuk berhenti atau mengundurkan
diri.
Saya
harap Pemerintah dapat melihat dan membuka matanya lebar-lebar bahwa banyak sekali
Pengabdian yang tak ternilai di Negeri
ini. Saya hanya mengambil contoh pengabdian dari para guru-guru yang
mengajar di daerah terpencil. Belum lagi ada profesi-profesi lainnya yang
mungkin kasusnya sama seperti para guru tersebut. Dan saya juga menaruh harapan
besar kepada guru-guru pahlawan ini untuk terus mencerdaskan anak bangsa
walaupun memang benar-benar tidak seimbang apa yang mereka beri dengan apa yang
mereka peroleh, dan mereka masih melanjutkan pengabdian itu hingga
bertahun-tahun lamanya. Maka, “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sangatlah pantas di
nobatkan untuk mereka. Seorang pahlawan yang memberikan ilmunya, yang tidak
hanya memikirkan dirinya sendiri tetapi memikirkan orang lain yang memang
membutuhkan ilmunya. Yang bahkan harus bertahan hidup dengan gaji yang ala
kadarnya bahkan tidak jarang harus berjuang melewati banyak rintangan untuk
bisa sampai kesekolah dan mengajar. Ini benar-benar menginspirasi hidup saya.
Semoga penulisan ini juga dapat menginspirasi kalian.
Banyak
sekali pengabdian-pengabdian yang tak ternilai lainnya yang mungkin masih belum
mendapatkan perhatian Pemerintah dan para petinggi di Indonesia ini. Saya
benar-benar berharap pendidikan harus diutamakan dan dibuat kesetaraan utuk
semuanya dengan tidak membedakan sekolah-sekolah di perkotaan dan pedalaman.
Jika memang belum bisa seperti itu mulailah dengan memberikan bangunan gedung
yang layak. Kursi-kursi dan meja yang baru. Papan tulis baru. Juga buku-buku
atau area perpustakaan yang lengkap. Saya tidak ingin hanya karena mereka tidak
berkecukupan mengenai finansial lantas mereka tidak mendapatkan hak pendidikan
yang sama. Para pengabdi yang turut andil dalam hal ini juga patut untuk
diperhatikan, entah dengan gaji yang merata dan pantas untuk mereka dapatkan
juga tunjangan lainnya yang dapat memberikan motivasi dan semangat untuk mereka
dapat terus memberikan ilmu dan menerdaskan para penerus bangsa ini. Ini sudah
jaman modern apalagi dengan adanya MEA yang membuat semakin miris jika melihat
kondisi pendidikan di pedalaman.
Saya
mengambil topic ini didalam pembahasan saya karena saya benar-benar miris
mendengar dan membaca kasus-kasus ini. Lagi-lagi di pedalaman. Lagi-lagi
mengenai biaya. Benar-benar mulia para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Saya
salut, saya bangga, dan saya benar-benar menaruh harapan besar pada mereka.
Juga menaruh harapan sebesar-besarnya kepada Pemerintah untuk dapat segera
melihat dan menuntaskan kasus ini. Bagaimanapun, Pendidikan tetap nomer satu.
Pendidikan yang baik adalah hak setiap bangsa. Dan mereka yang tinggal di
pedalaman dan daerah terpencil juga berhak untuk mendapatkannya.
Pemerintah
pasti bisa menuntaskan masalah ini. Pasti bisa untuk memeratakan pendidikan
kesemua daerah termasuk pedalaman. Pemerintah pasti bisa memperhatikan dan
memberikan yang terbaik kepada para pengabdi yang memang mengabdikan bahkan
sebagian hidupnya untuk mengajarkan mereka yang memang membutuhkan. Memang
mungkin butuh waktu untuk dapat memeratakan keseluruh Indonesia karena dengan
cukup banyak penduduk di Indonesia dan pulau-pulau kecil. Tapi pasti jika
dilakukan sekarang beberapa tahun yang akan mendatang sudah terlihat hasilnya. Saya
Cuma berharap agar pendidikan di Indonesia ini dapat berjalan dengan baik
daripada sebelum-sebelumnya. Dari mulai fasilitas bangunan, buku-buku yang
lengkap, guru-guru yang memang mengabdi lebih diperhatikan, seragam yang
merata, dan intinya hanya ingin ditegakkan adil dalam masalah pendidikan.
Dan
benar, terimakasih Pahlawan tanpa tanda jasa. Semua pengabdian mu untuk
mencerdaskan bangsa ini termasuk pedalaman sangatlah berharga. Walaupun tanpa
lelah dan tanpa keluh kesah mengajarkan anak-anak yang memang dengan kata lain
“kurang cukup”. Semoga masalah ini segera di angkat dan diberikan solusi yang
baik serta terjadi keadilan bukan hanya dalam bentuk social melainkan keadilan
dalam bentuk pendidikan.
Komentar
Posting Komentar